Entri Populer

Selasa, 17 Juni 2014

Susahnya Jadi Wasit

Berlari, mengamati, meniup peluit, membuat keputusan dalam waktu kurang dari 1 detik. Kira-kira begitu tugas seorang wasit. Berlari menyisir luas lapangan, mungkin wasitlah yang memiliki daya jelajah tertinggi sepanjang 90 menit lebih. Lebih dari pemain-pemain yang berebut bola untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Menjadi seorang wasit dibutuhkan kejelian dan ketepatan membuat keputusan. Tidak sedikit keputusan wasit yang akhirnya menjadi kontroversi, terutama saat para wasit berhadapan dengan para "aktor" dadakan ketika berada di kotak penalti. Tak jarang menjadi kambing hitam dari tim yang merasa dirugikan, tapi juga tak mendapat pujian dari tim yang merasa diuntungkan. Tim bertanding kadang hanya mendapat satu tekanan dari suporter lawan, dan mendapat satu dukungan dari suporter tim, sedang mereka harus mendapat tekanan dari dua kubu suporter.
Perkembangan sepakbola dan teknologi dewasa ini sangat pesat, seiring kualitas wasit yang dinilai semakin merosot, namun teknologi semakin bisa bersinergi dengan sepakbola, akhirnya muncul polemik baru saat muncul wacana menggabungkan sepakbola dengan teknologi. Beberapa tahun lalu kita masih melihat bagaimana seorang wasit lapangan harus berlari ke sisi lapangan untuk berkomunikasi dengan hakim garis untuk menentukan pelanggaran atau tidak, namun kini komunikasi wasit dimudahkan dengan alat komunikasi yang saling terhubung satu sama lain sehingga wasit bisa berkomunikasi awal lewat alat tersebut. Seperti sudah terprediksi, ketika satu bagian teknologi turut masuk ke dalam lapangan, ketergantungan akan teknologi akan terus bertambah dan tidak akan terpuaskan, karena masing-masing tim akan menuntut keadilan seadil-adilnya atas keputusan wasit, namun kadang kita tidak menutup mata bahwa sebaik apapun kepemimpinan wasit akan selalu ada celah untuk mencari kesalahannya.
Setelah alat komunikasi melakoni debutnya di lapangan, saat ini mulailah digunakan teknologi garis gawang yang akan memberi sinyal pada wasit untuk menentukan bola sudah melewati garis 100% atau belum dalam kondisi ketika bola akhirnya kembali memantul keluar, teknologi ini semakin dituntut untuk digunakan setelah kejadian "gol hantu" Frank Lampard ketika Inggris bersua dengan Jerman di Piala Dunia 2010 lalu. Saat itu dalam tayangan ulang memang jelas terlihat bahwa bola telah 100% masuk ke dalam gawang namun memantul keluar. Frank Lampard dan tim Inggris bahkan sempat ber selebrasi merayakan gol tersebut namun ternyata gol tersebut tidak disah kan oleh Jorge Larrionda selaku pemimpin pertandingan. Namun apakah karena cepatnya kejadian yang menyebabkan "gol hantu" tersebut terjadi? Inilah yang akhirnya memicu kontroversi penggunaan teknologi garis gawang, karena Larrionda bahkan sempat mengakui kesalahannya tidak mengesahkan gol Lampard tersebut, dilihat dari pengakuan tersebut sejatinya sang pengadil tahu persis bahwa sebenarnya bola telah melewati garis gawang, namun saat pertandingan wasit asal Uruguay tersebut tidak berani mengambil keputusan cepat, karena di pihak lain tim Jerman merasa bola belum masuk gawang. Namun pada akhirnya teknologi yang menjadi pemenang, dengan digunakannya teknologi garis gawang pada Piala Dunia 2014 ini, dan teknologi itu telah bekerja sesuai harapan ketika Prancis melumat Honduras.
Selain kejadian-kejadian yang membutuhkan pengamatan yang cermat, kontroversi wasit saat ini malah berasal dari perangai wasit itu sendiri, dari keputusan-keputusan yang tidak konsisten, membiarkan pertandingan berjalan sangat keras bahkan menjurus kasar, atau malah wasit yang terkenal menjadi fans sebuah klub namun tetap dipercaya memimpin pertandingan klub yang disukai wasit tersebut. Jika kondisi tersebut terjadi di liga mungkin kita masih bisa sedikit memberi toleransi, karena seluruh wasit berasal dari negara bersangkutan. Namun jika keberpihakan atau ketidak tegasan wasit terjadi di turnamen sekelas Piala Dunia dimana wasit dipilih dari berbagai negara dan benua, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah standar wasit FIFA berbeda di setiap benua atau negara? Sebagai contoh yang mungkin masih kita ingat ketika sosok Byron Moreno menjadi sorotan ketika memimpin pertandingan Korea Selatan melawan Italia di Piala Dunia 2002. Kala itu Moreno dianggap publik melakukan 2 kesalahan fatal saat menganulir gol Tommasi dan meng kartu merah Francesco Totti, dan Moreno semakin dibenci publik Italia karena dari 2 keputusan tersebut, Italia harus pulang lebih cepat.
Keputusan FIFA memilih wasit pun sedikit dipertanyakan ketika memilih seorang Yuichi Nishimura sebagai wasit pembuka laga Piala Dunia 2014 antara Brasil dan Kroasia. Memimpin laga Brasil ini seperti menjadi ajang penebusan dosa bagi seorang Nishirmura yang dianggap telah "melukai" Brasil di Piala Dunia Afrika Selatan dengan mengusir Felipe Melo. Di pertandingan kali ini Nishimura kembali membuat keputusan kontroversial yang justru menghancurkan Kroasia dan mungkin akan menghancurkan karier nya sebagai wasit profesional, dimana Nishimura tidak memberikan kartu merah pada Neymar yang seakan dengan sengaja menyikut Luca Modric, menganulir gol Kroasia, serta memberikan penalti untuk Brasil walau di tayang ulang terlihat tidak ada pelanggaran terjadi pada Fred.
Siapakah yang seharusnya bertanggung jawab atas kualitas wasit? Atau haruskah teknologi turut campur dalam pertandingan sepakbola? Biarlah sepakbola tetap menjadi milik manusia dengan segala keterbatasan indra dan kemampuan manusia berdasarkan kekurangan dan kelebihannya, bayangkan jika suatu saat pertandingan sepakbola dipimpin teknologi dimana semua pengambilan keputusan adalah benar dan mutlak, pertandingan akan menjadi datar dan tidak menarik lagi. PR bagi FIFA adalah membentuk wasit-wasit berkualitas secara skill dan mental, seperti sosok yang akan selalu muncul di benak pecinta sepakbola yaitu Pierluigi Collina yang hingga saat ini masih dianggap wasit terbaik yang pernah ada. Mampukah FIFA mencetak wasit-wasit sekelas Collina di masa depan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar