Entri Populer

Sabtu, 29 November 2014

Salah Asuh Sepakbola Indonesia

Pecah!!Hancur!!Luluh Lantak!!! Kata-kata yang mungkin pantas ditujukan pada PSSI. Diawali dari kegagalan Timnas U-19 di ajang Piala Asia padahal ditargetkan masuk hingga Semifinal untuk menembus Piala Dunia U-20, dilanjutkan dengan kegagalan Timnas U-23 di pentas Asian Games di Korea, dan ditutup dengan Timnas Senior di ajang Piala AFF di Vietnam. Mengerikan, bagaimana kita melihat sepakbola Indonesia, yang telah menghabiskan banyak biaya, namun tidak ada perkembangan signifikan. U-19 yang dipersiapkan secara intens dengan 2x tur keliling Nusantara, mengikuti turnamen di luar negri, sampai tur Spanyol melawan tim junior klub sekelas Valencia, Atletico Madrid, hingga Real Madrid dan Barcelona. Bahkan mereka juga sempat menghadapi pemain-pemain top seperti Luis Suarez, Thomas Vermaelen, dan Allen  Halilovic kala menghadapi Barcelona B. Ekspektasi besar yang ditujukan pada mereka setelah melewati rangkaian uji coba internasional ternyata malah berakhir over heat dengan gagal total dalam turnamen Piala Asia U-19. Sedikit berbeda dengan perjalanan Timnas U-9, timnas U-23 sedikit memperpanjang asa di turnamen Asian Games, namun kejadian memalukan adalah ketika dihajar Thailand 6 gol tanpa balas. Indonesia yang selama ini cukup terkenal di level Asia Tenggara seperti tidak berdaya menghadapi Thailand, yang selama ini menjadi rival Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Kemunduran Timnas Indonesia ditutup oleh muara para pemain muda yaitu Timnas Garuda senior. Menyertakan Evan Dimas dalam tim membuat asa suporter sedikit meningkat, ditambah lagi penampilan impresif Evan Dimas kala melakukan debut ujicoba dan mencetak 1 gol untuk skuat Garuda.
Kekalahan level U-23 di tangan Thailand mungkin bisa sedikit dimaklumi, karena Thailand merupakan salah satu raksasa Asia Tenggara. Namun kekalahan yang diderita Garuda senior jelas sangat mencoreng wajah Garuda, melawan Filipina yang notabene bukan merupakan simbol kekuatan sepakbola Asia Tenggara, Indonesia diporak porandakan dengan 4 gol tanpa balas di babak penyisihan turnamen Piala AFF Vietnam 2014. Filipina yang selama ini lebih sering menjadi lumbung gol, mulai membentuk kekuatan kala memanggil pemain-pemain keturunan Filipina yang menimba ilmu di luar negri. Di awal penataan kekuatan tersebut Filipina mampu menembus babak semifinal Piala AFF, walaupun pada akhirnya kalah agregat 2-0 dari Indonesia. Namun kali ini Indonesia harus menahan malu dengan kekalahan telak dari negara "lumbung gol" di masa lalu.
Sepakbola Indonesia seperti berjalan di tempat, bahkan melangkah mundur. Dengan skuat rata-rata umur tertua di Piala AFF, Indonesia tidak mampu berbuat banyak. Ketergantungan pelatih pada pemain senior masih sangat terlihat, dengan hanya dibawa nya Evan Dimas di skuat Piala AFF. Padahal di skuat U-19 memiliki cukup banyak pemain yang seharusnya layak dibawa ke Vietnam. Pemain-pemain seperti Ilhamudin Armaijn, Maldini Pali, dan Paolo Sitanggang seharusnya cukup layak mengisi skuat Garuda. Selain Evan Dimas, pemain-pemain itulah yang memberi warna dan menjadi daya dobrak di tim asuhan Indra Sjafri. mereka seharusnya sudah cukup matang untuk memperkuat timnas senior, selain itu mereka juga telah cukup memahami satu sama lain jika dimainkan bersama. Dapat kita lihat dalam pertandingan Indonesia melawan Laos semalam bagaimana kepercayaan diri Evan Dimas untuk memimpin lapangan tengah Garuda. Maju menyerang, turun membantu pertahanan, melakukan tendangan jarak jauh saat para penyerang mati kutu, menahan bola untuk memberi waktu rekan-rekannya mencari posisi, ber askselerasi menusuk kotak penalti, dan hasilnya mencetak 1 gol dan 1 assist.
Berbeda dengan Indonesia, Laos yang tidak punya sejarah mentereng di level AFF malah berani mengirimkan pasukan muda nya di gelaran tahun 2014. Hal ini mungkin konyol bagi kita, tapi jika Laos konsisten dengan programnya, maka bukan tidak mungkin di pentas AFF mendatang Laos ikut-ikutan mempermalukan Indonesia. Tidak ada pembinaan yang instan. PSSI harus konsisten dalam melakukan pembinaan jika tidak ingin menjadi lumbung gol oleh Thailand, Malaysia, Filipina, dan negara-negara lain Asia Tenggara di masa depan.

Selasa, 14 Oktober 2014

Catalan Bukan Spanyol

12 Oktober 2014 FC Barcelona telah mengumumkan dukungannya terhadap kemerdekaan Catalonia (daerah domisili Barcelona). Dengungan Catalan akan memisahkan diri dari Spayol telah berhembus cukup lama, bahkan Catalan telah menyiapkan timnas nya sendiri untuk mempersiapkan diri setelah pemisahan diri, dan pemain-pemain top asli Catalan juga turut memperkuat timnas Catalan, seperti Gerard Pique, Jordi Alba, dan Cesc Fabregas. Walau tidak diperkenankan mengikuti turnamen resmi FIFA karena masih belum berdiri sebagai negara sendiri, Timnas Catalan telah melakukan beberapa kali uji coba internasional melawan Cape Verde, Argentina, Honduras, Prancis, dan Brasil.
Hembusan-hembusan kabar pemisahan diri Catalan dari Spanyol selalu menjadi topik hangat di Camp Nou, bahkan pada pertandingan menjamu Atletic Bilbao pada 14 September 2014 lalu, Barcelona mengenakan Jersey Senyera (Corak bendera Catalan) di Camp Nou yang seharusnya Barcelona menggunakan jersey kandang Biru-Merah mereka. Hal ini dilakukan sebagai peringatan 300 tahun hilangnya kedaulatan Catalan yang seharusnya diperingati setiap tanggal 11 September. Pada laga-laga di Camp Nou sebelumnya terutama ketika pertandingan El Clasico, sentimen "Catalonia is not Spain" selalu berhembus, bendera-bendera Catalan hampir pasti berkibar di stadion kebanggaan warga Catalan. tersebut. Bahkan sentilan-sentilan nuansa Catalan terus didengungkan suporter dengan pembentukan motif mozaik warna Kuning-Merah yang menjadi kebanggaan masyarakat Catalan.
Lalu apa efek dari pemisahan Catalan yang pemungutan suara nya akan dilakukan pada tanggal 9 November 2014 mendatang? Barcelona, Espanyol, dan klub-klub Catalan lain secara otomatis akan kehilangan hak mereka untuk berlaga di kompetisi La Liga. Menurut perundang-undangan olahraga Spanyol, hanya ada 1 klub non Spanyol yang bisa berkompetisi di Liga Spanyol, dan klub itu adalah FC Andorra yang berlaga di kasta ke 6 Liga Spanyol. Namun apakah dengan mudahnya La Liga akan melepas Barcelona keluar dari La Liga? Pihak FC Barcelona sendiri telah menyatakan sikapnya akan legowo keluar dari Liga Spanyol jika memang "diusir" oleh penyelenggara La Liga. Pihak Liga Spanyol tentu akan berpikir beberapa kali sebelum benar-benar memutuskan hubungan dengan Barcelona, karena Blaugrana adalah salah satu magnet terbesar yang mampu mengikat banyak pecinta bola dunia tetap setia mengikuti kompetisi La Liga selain Real Madrid tentunya. Faktor lain yang akan membuat penyelenggara La Liga berpikir ulang adalah rivalitas antara Real Madrid vs FC Barcelona yang hingga saat ini menjadi pertandingan yang paling ditunggu oleh masyarakat dunia, dimana juga terlibat persaingan antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo didalamnya. Dan tentu saja kontribusi La Masia yang sangat berkontribusi menyumbangkan tenaga pemain-pemain top Spanyol kala mampu merebut Juara Dunia 2010 dan Juara Eropa 2012. Pemain-pemain didikan Barcelona yang turut membantu Spanyol berprestasi antara lain Carles Puyol, Gerard Pique, Jordi Alba, Sergio Busquets, Pedro Rodriguez, Xavi, dan Iniesta. Namun faktor terakhir sepertinya tidak akan terlalu mempengaruhi keputusan Spanyol, karena jika Catalan merdeka, otomatis mereka akan bisa dengan bebas menjadi anggota FIFA dan berdiri sendiri menjadi Timnas Catalan secara resmi, dimana di masa depan kontribusi La Masia akan lebih berpengaruh pada Timnas Catalan.
Dari pihak Barcelona sendiri jika terpisah dari Liga Spanyol akan cukup terancam kehilangan bintang-bintangnya karena tidak ada rivalitas jika mereka berkompetisi di intern Catalan, Namun sebagai sebuah klub, Barcelona pasti telah memiliki rencana terburuk mereka. Jika melihat ke Liga Inggris, dimana ada beberapa klub di luar Inggris juga berlaga di Liga Inggris seperti Swansea City dan Cardiff City, Barcelona sepertinya lebih memiliki opsi untuk menyelamatkan reputasinya, yaitu dengan berafiliasi dengan Liga negara tetangga, seperti bergabung ke Liga Jerman, Liga Portugal ataupun Liga Italia yang secara geografis tidak berjarak terlalu jauh. Dari segi reputasi klub sepertinya Barcelona akan mudah mendapatkan "rumah" baru untuk berkompetisi. Namun akan berbeda cerita jika Espanyol menghadapi kasus ini. Dengan status klub medioker, sepertinya La Liga tidak akan terlalu ambil pusing dengan adanya Espanyol atau tidak. Begitupula dengan Espanyol, tentu akan cukup susah menemukan "rumah" untuk berkompetisi dengan status klub medioker.
Segala kemungkinan masih bisa terjadi, Spanyol sendiri pun masih mungkin memberi kelonggaran bagi klub-klub Catalan untuk berlaga di La Liga Spanyol, dengan merubah sistem perundang-undangan mereka, karena kehilangan Barcelona juga akan bisa dianggap sebagai bunuh diri untuk kepopuleran La Liga sendiri. Tidak ada salahnya jika Liga Spanyol sedikit memberi perbedaan sikap terhadap klub-klub Catalan, seperti Monaco yang tetap mengikuti kompetisi di Ligue 1 Prancis walau secara konstitusi negara Monaco dan Prancis adalah 2 negara yang berbeda. Tentunya saat ini para pecinta Barcelona sedang cemas menunggu keputusan apakah Barcelona tetap di Liga Spanyol jika pada 9 November mendatang Catalan akan secara resmi merdeka? Dan sebagai penikmat sepakbola tentu saja kita akan kehilangan pertandingan paling klasik dalam sejarah sepakbola antara Real Madrid dan FC Barcelona. Semoga keputusan terbaik yang akan diambil oleh penyelenggara Liga Spanyol. Visca Barca Visca Catalonia. Catalonia Is Not Spain. Catalunya, Nou Estat D'Europa.




Senin, 13 Oktober 2014

Garuda Jaya "Over Heat"?

Tahun 2013 menjadi tahun harapan bagi pecinta Timnas Indonesia. Tim senior yang carut marut terdampak kisruh PSSI membuat suporter timnas tidak bergairah mendukung Tim Garuda di stadion. Namun pada saat itu tiba-tiba muncul harapan bangsa melalui ABG-ABG yang bertanding di level U-19.
Menjadi tuan rumah di gelaran Piala AFF U-19, anak asuhan Indra Sjafri ini tergabung di grup B bersama Vietnam, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Brunei. Tergabung bersama negara-negara favorit juara, kiprah Garuda Jaya kurang diperhitungkan oleh suporter. Selain berada satu grup dengan lawan tangguh, suporter pun relatif tidak mengenal pemain-pemain muda ini. Menyudahi pertandingan perdana dengan skor telak 5-0 melawan Brunei belum cukup memberi bukti kekuatan tim muda ini. Kemenangan kedua melawan Myanmar pun belum cukup memberi bukti pada penonton, apalagi timnas muda ini menelan kekalahan ketika melawan Vietnam. Namun bagi beberapa suporter, permainan yang ditunjukkan Evan Dimas, dkk ini cukup ampuh untuk bisa menarik penikmat bola di Sidoarjo dan Gresik yang menjadi tuan rumah gelaran ini walau stadion tidak selalu penuh. Kemenangan telak 3-1 atas Thailand membuka mata pendukung Timnas, ditambah laga penutup grup Indonesia melawan Malaysia yang selalu bertensi tinggi di setiap pertemuannya. Mengakhiri putaran grup di peringkat ke 2, Garuda Jaya bertemu dengan tim kejutan Timor Leste di babak Semi Final. Mengalahkan Timor Leste 2-0, anak-anak muda ini kembali harus bertemu dengan Vietnam di partai puncak. Harapan pun melambung tinggi bersama kepak Garuda muda ini, para suporter yang sudah haus prestasi bersatu untuk memerahkan stadion Gelora Delta Sidoarjo yang menjadi venue final. Doa masyarakat Indonesia pun terwujud dengan kemenangan Tim muda ini dengan adu penalti 7-6 setelah bermain imbang tanpa gol selama 120 menit.
Dalam sekejap Evan Dimas, Ravi Murdianto, Ilhamudin, Maldini Pali menjadi buah bibir masyarakat, dan mengisi kolom-kolom berita tanah air, bahkan profil Evan Dimas juga sempat terpampang di situs resmi FC Barcelona. Popularitas U-19 pun melambung mengalahkan senior-seniornya. Masyarakat bahkan benar-benar membela U-19 agar tidak terkontaminasi dari jahatnya media, bahkan ada dukungan supaya para pemain tidak memainkan bagian dari iklan-iklan yang merubah fokus pemain.
Euforia masih berlanjut pada kualifikasi Piala Asia U-19, dimana turnamen ini membawa harapan Garuda Jaya tampil di putaran Final Piala Dunia U-20. Tergabung di grup G bersama Laos, Filipina, dan raksasa Asia Korea Selatan. Asa tim muda ini diawali dengan mulus dengan melumat Laos dengan skor telak 4-0, dilanjutkan mengandaskan perlawanan Filipina 2-0. Dengan permainan cepat dan lugas, Timnas muda ini diyakini mampu mengimbangi kecepatan Korea Selatan. Dengan dukungan 50.000 suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Dibawah guyuran hujan yang cukup deras, Evan Dimas mampu membuka keran gol Garuda di menit 30, namun 2 menit setelah gol sang kapten, Korea mendapat penalti yang mampu dieksekusi dengan baik oleh Seol Taesu. Sorak sorai suporter yang membahana di Stadion terbesar Indonesia ini mampu memacu semangat para pemain hingga kembali unggul 2-1 di menit 49 Evan Dimas kembali membawa Garuda Jaya unggul. pada menit 86 Evan Dimas melengkapi Hattrick nya dan membuat seisi GBK dan pecinta bola seIndonesia bersorak gembira melihat Timnas muda ini unggul selisih 2 gol atas Korea Selatan. Tidak lama setelah gol ke 3 Evan Dimas, Korea mampu mencuri 1 gol pada menit 88. Sisa 2 menit digunakan Korea untuk membombardir pertahanan Indonesia yang dikawal oleh Ravi Murdianto. Penonton benar-benar bersorak kemenangan kala wasit asal Malaysia yang memimpin pertandingan tersebut meniup peluit akhir pertandingan. Sekali lagi Garuda Jaya melambungkan nama Indonesia di kancah sepakbola yang benar-benar dirindukan masyarakat.
Berbagai persiapan dilakukan Indra Sjafri untuk mempersiapkan tim menghadapi Piala Asia. 2 jilid tur Nusantara dilakoni, Tur Timur Tengah, hingga Tur melawan klub-klub Spanyol antara lain Valencia, Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid. Walau menderita kekalahan dari Atletico Madrid, namun permainan Garuda Jaya layak diapresiasi karena "hanya" kalah 2-1. Bahkan mampu menahan imbang Valencia 1-1. Di pertandingan melawan Barcelona, Evan Dimas, dkk mendapat pengalaman berharga dengan bertanding melawan Luis Suarez, Thomas Vermaelen, Alen Halilovic, Sergi Samper, dan Pol Calvet. Dengan lawan tanding yang memiliki jam terbang tinggi, Garuda Jaya harus rela gawangnya dikoyak sebanyak 6x oleh tim asuhan Eusibio itu. Keanehan muncul pada jadwal tanding melawan Real Madrid C yang dilakukan pada hari berikutnya. Kekalahan 5-0 menjadi terlihat sangat wajar jika didasarkan pada jadwal pertandingannya.
Menuai hasil kurang positif di Spanyol, tidak menyurutkan optimisme menghadapi turnamen selanjutnya Piala Asia U-19 di Myanmar. Namun seakan menjadi antiklimaks, ketika Evan Dimas, dkk malah takluk 3-1 dari Uzbekiztan di pertandingan perdana, dan bahkan tersingkir setelah kalah 1-0 dari Australia.
Dari tim yang relatif tidak dikenal, hingga menjadi pujaan mungkin memberikan beban tersendiri bagi para pemain, usia yang masih sangat muda harus memikul beban berat dari harapan seluruh rakyat Indonesia. Bukan Indra Sjafri, bukan Evan Dimas atau pemain lain yang harus disalahkan. Kesalahan mendasar sejatinya ada pada PSSI yang kurang mampu membina pemain muda potensial. Jika berpikir logis, penduduk Indonesia jumlahnya mungkin hampir setara dengan penggabungan beberapa negara Eropa sekaligus, namun mengapa dari sekitar 200juta penduduk, begitu sulitnya menjaring pemain muda? Banyak pemain muda potensial di Indonesia, dengan bukti pemain-pemain muda kita pernah berprestasi di turnamen internasional Danone. Juga ada beberapa pemain yang mendapat penghargaan di Milan bahkan Manchester United. Evan Dimas pun pernah mendapat kesempatan berlatih bersama La Masia, dan masih banyak contoh lain lagi. Ditambah dengan ekspansi sekolah sepakbola klub-klub Eropa seperti Arsenal, Barcelona, dan Real Madrid yang membuka cabang di Indonesia. PSSI harus lebih jeli melihat potensi pemain muda kita. Selama ini PSSI terus berharap pemain muncul dengan instan, padahal pemain seperti Lionel Messi sudah diincar Barcelona sejak umur 9 tahun, dan di didik secara profesional di La Masia yang diberi pelajaran sekolah intensif, latihan rutin sepakbola serta pertandingan di akhir pekan. Lalu apa beda pola latihan Timnas U-19 dengan klub-klub muda luar negri? Seperti kita tahu, banyak tur dijalani Garuda Jaya untuk memperkuat tim, jumlah pertandingan yang banyak serta tidak meninggalkan sekolah. Perbedaan mendasar adalah pada pertandingan yang dihadapi. Klub-klub Eropa membiasakan pemain muda dengan pertandingan kompetisi atau turnamen yang memperebutkan gelar, jadi dari usia dini mereka telah dibiasakan pada pertandingan yang kompetitif dan ada tekanan untuk menang, sedang Garuda Jaya hanya memainkan pertandingan yang bersifat persahabatan yang lebih banyak pada unsur "menyapa" penggemar dengan berkeliling Indonesia. Mereka hanya merasakan kenyamanan pertandingan, bukan kompetisi atau turnamen yang mengasah mental bertanding, dan hasilnya dapat kita lihat, mental Garuda Jaya belum siap untuk berkiprah di level yang lebih tinggi. Secara teknik dan permainan tim memang mumpuni, tapi dari segi mental mereka masih harus ditempa lebih lagi. Jayalah Garuda. Berbenahlah PSSI. Ingat, Jepang yang dulu "belajar" sepakbola di Indonesia sudah merasakan berlaga di Piala Dunia sejak 1998, sedang kita yang menjadi "guru" masih berjalan di tempat.



Rabu, 24 September 2014

Kapal yang Mulai Karam

Klub sepakbola biasa diibaratkan seperti kapal, dimana dimiliki oleh investor, memiliki nahkoda (pelatih), awak kapal (pemain), dan penumpang (suporter/fans). Semakin besar kapal akan semakin memiliki daya tampung yang besar. Sebesar apapun sebuah kapal tentu tidak menjamin tidak bisa karam. Begitupula klub sepakbola, meskipun di satu waktu menjadi besar, namun juga tidak menutup kemungkinan untuk tenggelam. Sedikit kita akan kembali ke masa akhir 90an atau awal 2000an. Masih segar diingatan kita bagaimana digdayanya Liga Italia dengan "Magnificent Seven" yang diisi oleh Juventus, AC Milan, Internazionale Milano, AS Roma, Lazio, Parma AC, dan Fiorentina. Lalu La Liga Spanyol yang selain memiliki rivalitas Barcelona dan Real Madrid, juga memiliki Valencia dan Deportivo La Coruna yang sempat mengejutkan kancah sepakbola Eropa. 
Namun seiring berjalannya waktu, beberapa klub yang sempat menjadi poros kekuatan di liga masing-masing harus merelakan masa emasnya. Beberapa klub yang harus rela tenggelam adalah

1. Parma AC
Berdiri pada 1913, tidak memiliki sejarah besar untuk dikenang, namun pada 1990an Parma yang dimiliki oleh keluarga Tanzi ini mampu mencuri perhatian dengan memunculkan bintang-bintang muda, dan bahkan sempat menjadi juara Piala UEFA, Piala Super Eropa, Coppa Italia, Piala Super Italia, Piala Winner, serta menjadi Runner Up Liga Italia. Cukup banyak pemain-pemain bintang yang diorbitkan oleh Gialloblu. Gianluigi Buffon yang hingga kini masih aktif bermain untuk Juventus dan Timnas Italia adalah pemain didikan akademi Parma. Selain Buffon, bintang-bintang yang pernah memperkuat Parma adalah Gianfranco Zola, Hernan Crespo, Lilian Thuram, Fabio Cannavaro, Diego Fuser, Matias Almeyda, Enrico Chiesa, Sebastien Frey, Adriano. Pada akhir 90an, skuat Parma yang cukup mentereng mampu menjadikan Parma salah satu kandidat juara Liga menyaingi Juventus, Milan dan Inter. Memasuki tahun 2000an, klub yang bermarkas di Stadion Ennio Tardini ini harus merelakan beberapa bintangnya untuk pergi dari klub. Beruntung manajemen cukup sigap untuk mendatangkan pemain-pemain baru yang masih mampu mempertahankan kualitas Parma. Pada tahun 2004, Parma mulai terguncang setelah kehancuran dinasti usaha keluarga Tanzi. Walau telah diselamatkan oleh Ghirardi, masa kejayaan Parma tidak kembali, hingga pada 2007/08 Parma bahkan harus "pulang" ke Serie B setelah 18 tahun malang melintang di Serie A. Musim berikutnya Parma sukses kembali ke Serie A, namun tidak mampu mengulang apa yang terjadi di tahun 90an. Bahkan pada musim 2010/11 mereka nyaris kembali ke Serie B. Beruntung kejeniusan Franco Colomba mampu menyelamatkan klub biru-kuning tersebut. Kini di tangan Donadoni, Parma mencoba kembali menempuh jalur juara, dan di musim 2013/14 yang juga menjadi ulang tahun Parma ke 100 mereka berhasil bertengger di peringkat ke 6 Serie A

2. Deportivo La Coruna
Berdiri tahun 1906, Deportivo tidak memiliki sejarah mentereng sebagai klub raksasa. Prestasi yang naik turun membuat Deportivo jarang mendapat sorotan media. Pada tahun 2000 adalah masa terbaik Deportivo. Dilatih oleh Javier Irureta, Super Depor bermetamorfosis menjadi kekuatan baru La Liga dan Eropa. Naybet, Diego Tristan, Djalminha, Roy Makaay, dan Pauleta mampu membawa Super Depor finis diatas Barcelona dan Valencia di musim 1999-2000. Selama beberapa tahun Deportivo mampu menarik nama-nama beken seperti Valeron, Capdevila, Albert Luque, Aldo Duscher, dan Walter Pandiani untuk mempertahankan kualitas permainan mereka. Selama 5 musim berturut-turut, Deportivo mampu bertahan di papan atas La Liga dan berpartisipasi di Liga Champions, hingga puncaknya pada tahun 2004, merema mampu menembus semifinal untuk kali pertama dalam sejarah klub. Selepas tahun 2004, tidak adanya peremajaan tim, prestasi Super Depor kian meredup. Kembali ke habitatnya di papan tengah, dan bahkan pada 2011 harus karam dan tersingkir dari Primera Division La Liga. 

Beberapa klub mungkin juga pernah memasuki fase surut, namun klub-klub dengan manajemen handal lah yang mampu terus berprestasi, seperti yang dicontohkan oleh Juventus, sempat terlempar dari Serie A karena skandal pengaturan skor, Juve masih dapat mempertahankan bintang-bintangnya dan masih menjadi salah satu tim yang disegani di Eropa dan bahkan di Dunia.




Senin, 15 September 2014

Performa Maksimal

Untuk menjadi seorang bintang lapangan, pemain sepakbola dituntut untuk selalu menampilkan performa terbaiknya, baik di level klub maupun kala membela timnasnya. Dalam sekali penampilan kadang kadar kebintangan seorang pemain tidak dapat diukur, namun bukan berarti tidak memiliki nilai tambah. Ada pemain yang menjadikan penampilan terbaiknya dalam 1 pertandingan menjadi batu loncatan, ada pula yang hanya meraih popularitas sesaat saja.
Bintang yang dikenang tentu saja harus menampilkan permainan impresif yang konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama, atau mampu memperlihatkan perkembangan yang signifikan dari usia muda hingga usia matangnya.
Sebagai pecinta sepak bola kita tentu tidak asing dengan nama Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Kedua pemain ini memang menjadi sumber berita yang tak pernah habis, baik karena permainan maupun berita diluar lapangan. Walau memiliki popularitas yang hampir seimbang, Ronaldo dan Messi mencapai puncak popularitas dengan cara yang berbeda. Ronaldo yang merupakan talenta Portugal ditemukan dan dipoles oleh Sir Alex Ferguson yang kala itu terkesan dengan permainan Ronaldo muda ketika memperkuat Sporting Lisbon. Pemuda 17 tahun itu akhirnya diboyong ke Old Trafford oleh Fergie. Dipoles oleh seorang manajer bertangan dingin, CR7 terus menunjukkan performa terbaiknya bersama Setan Merah, hingga akhirnya menarik minat Real Madrid untuk menggunakan jasanya.
Cerita berbeda diukir oleh Messi. Pemain 27 tahun asal Argentina ini boleh dibilang mendapat keberuntungan dari penyakit hormonnya. Pemain kelahiran Rosario ini memang memiliki bakat yang istimewa, namun memiliki sedikit kelainan hormon pertumbuhan yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badannya terhambat. Carles Rexach yang kala itu menjabat sebagai pemandu bakat di klub Barcelona sedang mencari talenta muda di Argentina. Sejatinya Messi kecil hampir bergabung bersama River Plate, namun karena biaya pengobatannya yang mahal dan River Plate tidak sanggup membiayainya, maka pupuslah impian Messi kecil bergabung dengan salah satu klub legendaris Argentina itu, namun Carles Rexach yang sempat melihat permainan Messi langsung memutuskan untuk membawanya dan keluarganya bergabung dengan Barcelona dan membiayai semua pengobatannya. Dididik di salah satu klub dengan pembinaan pemain muda terbaik di dunia membuat bakat besar Messi muncul ke permukaan, dan kini Messi menjelma sebagai sosok pemain terbaik di dunia, bahkan telah menduplikat 2 gol brilian dari Maradona, serta meraih 4 gelar Ballon D'Or secara berturut-turut.
Tidak banyak memang pemain yang mampu mempertahankan kelas terbaiknya dalam waktu yang lama seperti Messi maupun Ronaldo. Ada pemain yang tampak memiliki bakat di usia muda, namun tidak dapat menunjukkan penampilan yang konsisten, tapi ada pula pemain yang baru muncul kala usianya mulai senja, Javier Chicharito sempat menjadi perbincangan kala Sir Alex membawanya ke panggung Old Trafford, namun Chicharito tidak mampu menunjukkan penampilan yang konsisten hingga gagal menembus skuat utama dari Setan Merah, namun 1 hal yang patut ia syukuri adalah ketika Real Madrid mau meminjamnya untuk menambah kekuatan di lini depan Los Blancos.
Karir Chicharito sedikit lebih baik ketimbang Romelu Lukaku, Sama-sama direkrut ketika usia muda, dan sempat tampil impresif, Chicharito masih ditampung oleh klub sekelas Real Madrid, Lukaku yang menjadi calon predator bagi negaranya tidak mampu meluluhkan hati Jose Mourinho, hingga harus tersingkir dari Stamford Bridge dan dipinjamkan ke West Brom dan Everton. Kendati tidak bersinar di Chelsea, Lukaku tampil cukup impresif selama masa pinjaman. Tak kunjung memperoleh servis terbaik, akhirnya Lukaku harus rela dilego ke Everton musim 2014/15.
Lain pemain, lain pula keberuntungannya. Jika Chicharito dan Lukaku merupakan pemain muda yang semakin meredup, Dario Hubner adalah pemain kebalikannya. Tidak banyak orang tau masa muda Hubner, pemain ini menunjukkan tajinya ketika berusia kepala 3. Dario Hubner yang masa mudanya dihabiskan di Serie B dan C tersebut melakukan debut Serie A di usia 30 tahun, bahkan sempat menjadi Top Skor Serie A di usia 34 dengan 26 gol nya ketika membela klub Piacenza.
Selain karena faktor keberuntungan dan konsistensi permainan, mungkin takdir juga menjadi salah satu faktor bagi seorang pemain sepakbola. Shinji Kagawa boleh jadi sedang merasakan hal itu. Dikenal publik karena kegemilangannya di Signal Iduna Park, talenta Kagawa menggoda Alex Ferguson untuk mengasuhnya di Inggris. Namun 2 tahun berkarier di Inggris membuat karier Kagawa meredup. Kejeniusannya seolah "tertinggal" di Jerman. Merasa tidak berkembang akhirnya Kagawa memilih kembali "pulang" ke Borussia Dortmund, seperti takdirnya tertulis disana, Kagawa kembali menunjukkan sihirnya yang hilang.
Setiap pemain tentu ingin membela negaranya di pentas Piala Dunia. Namun tidak semua pemain yang tampil impresif di klub mampu berbuat hal yang sama di level internasional. Lionel Messi yang ditahbiskan menjadi pemain terbaik dunia pun sempat masuk jajaran pemain yang tidak populer ketika membela timnas Argentina, hingga tudingan itu dibantah ketika Messi sukses membawa Argentina ke partai puncak Piala Dunia 2014. Berbeda dengan Messi, Diego Costa bahkan memilih untuk pidah warga negara demi bisa tampil di Piala Dunia. Costa yang sejatinya adalah berkewarganegaraan Brazil, memilih untuk menjadi pemain Nasional Spanyol di Piala Dunia 2014 lalu. Namun Costa di Atletico dan Costa di Spanyol adalah Diego Costa yang berbeda. Di Atletico, Diego Costa mampu membawa Atletico ke puncak juara liga, namun di timnas Costa seperti harimau yang tak bergigi. Kecewa dengan tampilan di Piala Dunia, Diego Costa seakan memang berjodoh dengan permainan di Liga Inggris, dalam 4 laga, Costa memberikan 4 kemenangan untuk Chelsea dengan sumbangan 7 gol.
Banyak faktor yang mampu menjadikan seorang pemain menjadi bintang. Tidak banyak yang mampu berkarier seperti Messi, tapi tidak sedikit pula pemain muda yang akhirnya "membunuh" kariernya sendiri ketika memutuskan untuk keluar dari klub yang membinanya demi mengejar posisi tim inti yang sejatinya belum siap untuk mereka hadapi. Polesan pelatih juga menjadi faktor yang sangat penting bagi perkembangan karier seorang pemain. Tidak sedikit pula pemain yang mengikuti pelatihnya berpindah klub, bukan demi posisi, namun karena sang pemain dan pelatih telah saling memahami.




Jumat, 29 Agustus 2014

Liga Champions Eropa

Piala Dunia usai, klub-klub mulai berburu pemain yang tampil gemilang selama di Brazil. Tercatat pemain-pemain tangguh di Brazil dengan mudah mendapat klub baru dengan skala yang lebih besar dari klub sebelumnya. Fase belanja pemain dan pramusim pun telah dilalui demi menjaga harmonisasi tim dengan skuat maupun pelatih anyar. Mayoritas Liga pun telah memulai perjalanannya. Setelah semua fase dilewati oleh mayoritas klub, ada satu fase penting yang akan membuat klub-klub tersebut bersaing demi gengsi menjadi yang terbaik di benua biru.
Liga Champions Eropa telah menyelesaikan kualifikasi awalnya, dan menciptakan beberapa grup mautnya yang layak ditunggu. Pengundian klub-klub peserta Liga Champions tidak jauh berbeda dengan pengundian-pengundian turnamen lain seperti Piala Dunia maupun Piala Eropa. Jika pada Piala Dunia terbagi atas benua-benua supaya tidak bertemu dalam 1 grup, maka Liga Champions membagi berdasarkan prestasi dalam 5 tahun dan diselaraskan dengan posisi klub di klasemen akhir masing-masing liga dan wilayah negara. Klub dalam 1 liga tidak akan berada dalam 1 grup. Pembagian grup sendiri dibagi menjadi 4 pot, dimana setiap pot diisi oleh 8 klub yang masing-masing akan dibagi menjadi 8 grup, yang membuat hanya ada 1 wakil tiap pot dalam 1 grup final.
Spanyol menjadi negara yang mendominasi di pot 1, yang diwakili oleh Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid. Sementara Chelsea dan Arsenal menjadi wakil Inggris. Jerman yang liganya didominasi oleh Bayern Munich pun hanya menominasikan klub bavarian tersebut di pot 1. Jatah sisa 2 klub kali ini dimiliki oleh Portugal yang mengirimkan Benfica dan Porto jadi penghuni pot unggulan ini. Pot 2 masih diisi oleh beberapa klub tradisi Eropa, antara lain Juventus, Paris St. Germain, Borussia Dortmund, dan Manchester City. 4 klub lainnya tidak bisa dibilang klub biasa-biasa saja, namun berasal dari liga yang tidak memiliki koefisien tinggi di Eropa, seperti Shaktar Donetsk, FC Basel, dan Zenith St. Petersburg. Schalke 04 menjadi pelengkap 8 tim di pot 2. Memasuki pot 3, nama-nama seperti Ajax Amsterdam, Liverpool, Sporting Lisbon, dan Galatasaray berpotensi untuk menciptakan grup neraka di Liga Champions kali ini. Pot 3 ini juga dilengkapi oleh klub-klub kuda hitam yang memiliki potensi menjadi kejutan seperti Olympiakos, Athletic Bilbao, CSKA Moscow, dan Bayer Leverkusen. Yang menjadikan Liga Champions kali ini menarik adalah ketika kita melihat isi dari pot 4 dimana ada nama AS Roma, Anderlecht, dan AS Monaco yang semakin akan meramaikan persaingan di turnamen tahunan ini. 3 klub yang cukup memiliki nama besar ini, ditemani oleh APOEL Nicosia, Ludogoretz Rasgard, BATE Borisov, Malmo, dan Maribor yang melengkapi 32 tim peserta Liga Champions 2014/15 kali ini.
Berikut Hasil lengkap drawing Liga Champions yang telah dilakukan :
Grup A: 
Atletico Madrid (Spanyol)
Juventus (Italia)
Olympiakos (Yunani)
FF Malmo (Swedia)

Grup B:
Real Madrid (Spanyol)
FC Basel (Swiss)
Liverpool (Inggris)
Ludogorets (Bulgaria)

Grup C:
Benfica (Portugal)
Zenit St Petersburg (Rusia)
Bayer Leverkusen (Jerman)
AS Monaco (Prancis)

Grup D:
Arsenal (Inggris)
Borussia Dortmund (Jerman)
Galatasaray (Turki)
Anderlecht (Belgia)

Grup E: 
Bayern Munich (Jerman)
Manchester City (Inggris)
CSKA Moskow (Rusia)
AS Roma (Italia)

Grup F:
Barcelona (Spanyol)
Paris Saint Germain (Prancis)
Ajax Amsterdam (Belanda)
APOEL (Siprus)

Grup G:
Chelsea (Inggris)
Schalke 04 (Jerman)
Sporting Lisbon (Portugal)
Maribor (Slovenia)

Grup H:
FC Porto (Portugal)
Shakhtar Donetsk (Ukraina)
Athletic Bilbao (Spanyol)
BATE (Belarusia)

Jika dilihat dari komposisi diatas, ada 3 grup yang bisa dikategorikan menjadi grup neraka, Grup D yang diisi oleh Arsenal, Borussia Dortmund, Galatasaray, dan Anderlecht adalah grup neraka pertama. Walaupun Arsenal dan Dortmund bukanlah klub utama di liga masing-masing, namun mereka memiliki penampilan yang cukup apik beberapa musim ke belakang di Liga Champions, sedang Anderlecht dan Galatasaray merupakan klub tradisi juara di Liga Belgia dan Turki. Ditambah dengan fanatisme dari suporter Dortmund dan Galatasaray, tentu akan semakin menambah panasnya persaingan grup neraka ini.
Grup E yang diisi Bayern Munich, Manchester City, CSKA Moscow, dan AS Roma bisa disebut grup neraka ke 2. Bayern Munich yang mendominasi Liga Jerman, dan Manchester City yang memiliki bintang-bintang top tentu menjadi daya tarik tersendiri di grup ini. Tapi juga jangan lupakan CSKA Moscow yang merupakan klub raksasa Russia, serta AS Roma yang mulai bengkit dari tidurnya untuk berusaha kembali berada di jajaran klub elit Eropa.
Grup neraka terakhir adalah Grup F yang diisi oleh Barcelona, Paris St. Germain, Ajax Amsterdam dan APOEL. APOEL bisa dibilang kurang beruntung bergabung di grup ini. Seperti yang kita tahu, Barcelona yang musim lalu sempat meredup, sedang kembali berusaha menjadi yang terbaik di Spanyol dan di Eropa. Mendatangkan bintang-bintang besar untuk mengimbangi dan mendidik pemain binaan La Masia, tentu akan menjadi kekuatan tersendiri. PSG yang terkenal dengan kekuatan financialnya akan berusaha sangat keras membayar semua pengeluarannya dengan usaha terbaiknya untuk menjadi yang terbaik di Eropa yang hingga saat ini belum menemui hasil maksimal. Sementara Ajax adalah merupakan kekuatan klasik dari Belanda yang pernah menguasai Eropa di tahun 90an. Namun sepakbola bukan tanpa kejuan, masih cukup segar di ingatan kita bagaimana Kosta Rika yang mampu selamat dari "jajahan" Italia, Inggris, dan Uruguay di Piala Dunia 2 bulan yang lalu, jadi sejatinya APOEL masih memiliki kesempatan yang sama untuk dapat lolos dari grup neraka ini.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Atletico Sang Raja


La Liga Spanyol, selama beberapa musim identik dengan 2 musuh bebuyutan Barcelona dan Real Madrid. Namun kejutan terjadi musim lalu ketika Atletico Madrid mencuri perhatian dunia dengan menjuarai kompetisi tertinggi di Spanyol tersebut. Atletico mengukuhkan diri sebagai juara La Liga setelah menahan imbang Barcelona di Camp Nou. 
Di level Eropa, tim besutan Diego Simeone ini juga mampu menembus partai final, walau akhirnya harus mengakui keunggulan mental juara rival sekota mereka Real Madrid.
Sejak ditangani Simeone memang kinerja Atletico terus menanjak, dari musim ke musim selalu ada peningkatan kualitas permainan. Walau diatas kertas pemain-pemain Atletico tidak sementereng skuat Barcelona atau Real Madrid, namun Simeone mampu memaksimalkan semua talenta terbaik pemainnya. Walau permainan Atletico terus menanjak, mungkin tidak seorangpun membayangkan bahwa Atletico mampu merebut tahta dari duo teratas La Liga yang selama beberapa musim merajai kompetisi. 
Setelah menjelma menjadi kekuatan baru di kompetisi Spanyol, tidak serta merta membuat bintang-bintang Atletico bertahan. Thibaut Courtois yang penampilannya semakin matang harus kembali ke Chelsea setelah masa pinjamannya berakhir, Simeone juga ditinggal oleh sang ujung tombak Diego Costa, dan bek Felipe Luis yang mengikuti jejak Courtois ke Chelsea. Sementara David Villa yang sudah termakan usia juga memilih untuk hengkang dan mencicipi liga AS (MLS). Namun bukan Simeone jika hanya memilih untuk pasrah melihat bintang-bintang nya pergi. Kesuksesan Atleti musim lalu cukup memudahkan Simeone untuk mengundang pemain-pemain besar untuk bergabung. Ditinggal Costa dan Villa, Simeone mendapat Mandzukic dan Antoine Griezmann sebagai pengganti yang cukup ideal. Di sektor penjaga gawang, Atletico juga mendapat Jan Oblak dan Moya untuk menggantikan Asenjo dan Courtois. Dengan total nominal hampir 100juta Euro yang digunakan Simeone untuk belanja, Atletico mendapat hampir 8 pemain yang dirasa cukup untuk menambal lubang yang ditinggal pemain yang memilih hengkang. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan tetangga mereka yang menggelontorkan uang 95juta Euro untuk 2 pemain saja.
Perbandingan transfer klub sekota ini seakan langsung diberikan ajang untuk membuktikan siapa yang memiliki kebijakan transfer yang lebih baik. Ya, Atletico dan Real Madrid telah bertanding di ajang Super Copa Spanyol yang telah dimainkan 2 leg. Dan di laga yang jadi tanda pembuka liga ini Atletico Madrid mengukuhkan diri sebagai raja Liga Spanyol dengan mengalahkan Real Madrid dengan agregat 2-1. Atletico mampu mengimbangi Real Madrid dengan skor 1-1 di Bernabeu, serta menaklukkan sang tetangga 1-0 di Vicente Calderon. Di pertandingan 2 leg ini seolah Simeone membuktikan bahwa membeli pemain mahal bukanlah yang utama dalam sepakbola, melainkan membeli pemain yang sesuai dengan kebutuhan tim. Hal ini diperkuat oleh gol tunggal Mario Mandzukic dini hari tadi kala Atletico memaksa Real Madrid tumbang di Calderon. Hal itu tentu berbanding terbalik dengan pembelian mahal James Rodriguez di kubu Madrid putih. James yang tampil gemilang di Piala Dunia belum menunjukkan penampilan terbaiknya dibawah Carlo Ancelotti.
Namun La Liga tetaplah La Liga, walau Atletico mampu menjadi juara musim lalu, namun pemberitaan transfer masih terpusat pada James Rodriguez nya Real Madrid dan Luis Suarez nya Barcelona. Untuk laga pra musim pun tetap Real Madrid dan Barcelona yang menjadi komoditas utama wakil Spanyol. Namun Atletico sekali lagi mencuri perhatian dengan merebut Piala Super Spanyol dini hari tadi. Namun  hasil itu juga tidak membuat Simeone berani mematok target tinggi mengarungi musim baru ini, dan hanya menarget finis di 4 besar saja. Apakah hanya bentuk kerendahan hati Simeone saja ataukah bentuk rasa kurang PD dari Atletico?

Senin, 11 Agustus 2014

Keep The Unity "27 Tahun Arema"

SEJARAH SINGKAT
11 Agustus 1987 adalah tanggal yang sangat istimewa bagi Kota Malang. Pada tanggal tersebut secara resmi menjadi tanggal terbentuknya PS Arema yang mewakili Kota Malang di era Galatama. Galatama sendiri adalah liga yang dapat dibilang independen, karena klub-klub pesertanya adalah merupakan klub "swasta" yang tidak didanai pemerintah. Sebelum tahun 1987, Kota Malang sendiri identik dengan Persema Malang, yang selalu menjadi magnet warga Malang untuk memenuhi Stadion Gajayana yang juga adalah stadion tertua di Indonesia. Ide membentuk Arema dimunculkan oleh Acub Zainal, untuk menyelamatkan Arema 86 yang kesulitan dana untuk mengarungi kompetisi Galatama. Awalnya Arema tidak langsung mendapat support masyarakat Malang, karena saat itu Persema menjadi daya tarik warga Malang, serta tidak stabilnya permainan Arema. Awal perjalanan Arema tidaklah mulus, karena hampir selalu terkendala masalah dana dan tidak adanya Mess, namun dengan kondisi tersebut tidak menjadi alasan bagi Arema untuk tidak berprestasi. Perlahan tapi pasti, Arema mampu mencuri hati publik sepakbola Malang. Walau kekurangan dana, namun tetap bertahan dan berjuang seakan menjadi kunci Arema untuk dicintai warga Malang. Puncaknya pada musim kompetisi 1992/93, Arema mampu menjadi juara Liga Galatama.

PERJALANAN
Klub berlogo kepala singa dan berjuluk "Singo Edan" ini sejak berdirinya hingga tahun 2002, kekurangan dana adalah hal yang sangat biasa. Bahkan demi bisa menggaji pemain, seluruh pemain harus menerapkan pola, apapun yang terjadi, jika bermain kandang harus menang, tak lain karena hanya kemenangan yang mampu menarik penonton ke stadion, dan hasil tiket penonton itulah yang menjadi gaji mereka. Permainan cepat dan keras menjadi ciri Arema, hanya demi dapat selalu menang di kandang. Tahun 2003 bahkan Arema sempat "dikhianati" oleh pemain dan bahkan sang manajer Iwan Budianto yang berpindah ke Persik Kediri yang kala itu menjadi kekuatan baru yang mampu meraih juara pada musim pertama di kasta tertinggi, sedang Arema akhirnya harus terdegradasi.
Namun Arema tetaplah Arema. Arema milik Aremania, dan warga Malang. Degradasi bukan menjadi akhir hidup Arema, namun dari sanalah Arema mendapatkan sistem untuk mendidik pemain muda asli Malang, mendapat sponsor untuk mengarungi liga, serta menjadi tantangan bagi Aremania untuk terus mendukung Singo Edan di kondisi terburuk. Buruknya kondisi keuangan Arema hingga terlempar dari kasta teratas liga mendatangkan pabrik rokok Bentoel yang berdomisili di Kabupaten Malang untuk turut berkontribusi membangun kembali Arema. Bentoel tidak hanya menyiapkan fasilitas untuk tim, tapi juga memberikan fasilitas untuk membina pemain muda dengan membentuk akademi Arema yang dapat diikuti oleh pemuda-pemuda Kota/Kabupaten Malang untuk bisa berkesempatan menjadi pemain Arema dengan cara dibina oleh tim dari usia muda. Pendidikan berjenjang dengan kategori umur ini akhirnya juga diadaptasi oleh beberapa klub di Indonesia. Sejak dikelola oleh PT. Bentoel, Arema sedikit dapat bernafas karena tidak lagi kekurangan dana kompetisi. Arema menjadi 1 dari sedikit klub yang mampu bertahan tanpa dukungan APBD. Kendati berkompetisi di kasta ke 2, Arema yang memiliki dana segar dan jaminan tidak ada keterlambatan gaji, masih mampu mendatangkan pemain-pemain yang memiliki label bintang, seperti Marthen Tao dan Erol F.X. Iba, serta mendatangkan pelatih sekelas Benny Dollo untuk mengembalikan Arema ke level tertinggi. Dana besar yang dikeluarkan Arema berbuah manis, 1 musim menjalani kompetisi di level ke 2, dapat dibayar dengan juara dan promosi ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Musim berikutnya, PSSI meluncurkan gelaran Copa Indonesia, dan Singo Edan mampu meraih 2 gelar berurutan pada tahun 2005 dan 2006.
Lepas dari Benny Dollo yang tidak mau memperpanjang kontrak di Arema, prestasi Arema pun ikut turun, bahkan dalam kurun waktu 2006-2009 Arema tidak mampu bersaing untuk mendapat gelar juara. Minim nya gelar juara membuat PT. Bentoel memutuskan untuk melepas Arema pada tahun 2009, dan Arema berada dibawah konsorsium yang dipegang langsung oleh Kabupaten Malang. Wacana merger dengan Persema pun sempat dimunculkan, namun wacana tersebut ditolak mentah-mentah oleh Aremania. Bahkan walau dikelola oleh Kabupaten Malang, Aremania menolak anggaran APBD untuk membiayai Arema. Dengan dana seadanya, manajemen dengan mengejutkan mengontrak pelatih asing pada tahun 2009, namun yang menjadi kritik adalah, publik Malang nyaris tidak mengenal sosok Robert Rena Albert. Nama tidak terlalu populer, namun gaji nya selangit. Ditambah dengan skuat yang terbilang apa adanya, Arema mengarungi kompetisi 2009/10. Sempat diisi dengan keraguan, namun Robert membawa perubahan sistem pelatihan dan permainan di tubuh Arema, dengan pemain yang relatif muda dan tidak populer, Robert mencatatkan namanya dengan tinta emas dengan membawa Arema juara di akhir musim. Robert nyaris membawa Arema meraih gelar ganda kala mampu membawa Arema ke partai puncak Copa Indonesia. Namun di partai puncak Arema harus mengakui keunggulan Sriwijaya FC.

2012 kembali Arema mendapat ujian ketika terjadi dualisme liga dan dualisme klub. ISL yang telah berjalan 3 tahun melanjutkan gelaran Liga Djarum, terpecah kala muncul IPL yang dibentuk oleh oknum yang tidak bertanggung jawab karena merasa kepemimpinan bermasalah Ketua PSSI Nurdin Halid. Musim 2010/11 menjadi bibit perpecahan liga, yang akhirnya terdampak pada klub Arema. Arema ISL harus kehilangan bintang-bintangnya yang lebih memilih Arema yang berkompetisi di IPL karena memiliki sokongan dana yang cukup besar. Aremania pun sempat terpecah untuk mendukung Arema IPL yang berlaga di stadion Gajayana. Namun Arema ISL yang diyakini Arema yang asli tidak menyerah, hingga mampu menggandeng PT. Pelita Jaya Cronus menjadi penyandang dana mereka. Sempat terseok-seok di putaran pertama ISL 2011/12, Arema Cronus mampu menarik "pulang" bintang-bintang Arema IPL seperti Kurnia Meiga, dan M. Ridhuan. Selamat dari jurang degradasi, Arema berbenah diri di musim berikutnya, setelah ISL dikembalikan menjadi liga nasional. Kembalinya ISL menjadi liga utama juga mengembalikan taji Arema yang bertengger di posisi 2 klasemen akhir dibawah Persipura.

PRESTASI
Arema merupakan salah satu klub raksasa yang ada di Indonesia. Dengan umur yang baru menginjak 27 tahun, Singo Edan pernah menjuarai liga sebanyak 3x. 1 gelar Liga Galatama (1993), 1 gelar Liga Pertamina Divisi 1 (2004), dan 1x Indonesia Super League (2010), serta 2x menjadi runner up Indonesia Super League (2011, 2013). Sedang di level turnamen, Arema meraih 2 gelar juara Copa Indonesia (2005 & 2006), dan 1x runner up pada tahun 2010.

AREMANIA
Siapa tidak mengenal Aremania? Menjadi salah satu basis suporter terbesar sudah menjadi ciri khas Aremania sejak era 90an. Suporter yang memiliki semboyan "Salam Satu Jiwa" dan slogan "Tidak Kemana-mana Ada Dimana-mana" ini sempat menjadi kelompok yang ditakuti karena tingkah negatif nya, terutama kala Arema kalah. Tindak anarkhis sudah menjadi ciri khas, bahkan Kota Malang hampir selalu sepi kala Arema bertanding. Namun kesadaran dan kedewasaan mulai dihembuskan oleh para petinggi Aremania. Mereka ingin menhapus imej negatif menjadi positif, dengan kreatifitas dan lagu-lagu yang membangun semangat pemain. Aremania pun mulai berkreasi menggubah lagu, mulai sekedar merubah kata-kata, bahkan sampai menciptakan lagu sendiri. Kreasi nyanyian dan tarian dukungan akhirnya juga merambah ke hampir seluruh stadion di Indonesia. Seiring berjalan waktu, Aremania pun sempat memasuki masa kelam ketika mendapat sanksi dari PSSI tidak boleh ber atribut selama 2 tahun karena kerusuhan yang nyaris membumi hanguskan Stadion Brawijaya Kediri. Hukuman itu sendiri diterima dan ditaati oleh Aremania. Selama menjalani sanksi, Aremania sepakat menggunakan atribut hitam-hitam dan bendera merah putih ketika masuk ke stadion.
Rekor demi rekor juga diciptakan oleh Aremania, ketika Arema juara liga pada 2010, pertandingan terakhir yang dilakukan di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta melawan Persija, menjadi daya tarik bagi puluhan ribu Aremania untuk "menyerbu" Ibu Kota. Total sekitar hampir 60.000 Aremania mengunjungi GBK. Bahkan Aremania berbagi rata dengan The Jakmania untuk menyaksikan laga terakhir tersebut. Aremania juga sempat mendapat perhatian khusus dari AFC, karena loyalitasnya yang tinggi untuk Arema. Slogan Tidak kemana-mana, ada dimana-mana sepertinya cocok dengan Aremania, bahkan untuk pertandingan di luar negri pun Aremania hadir langsung di stadion. Mulai pertandingan di Vietnam, Hongkong, bahkan Maladewa pun ada Aremania yang hadir, diwakili oleh Harie Pandiono yang juga "membawa" Arema ke Piala Dunia. Akhir-akhir ini Aremania kembali berkreasi dengan "Giant Flag" dan "Super Giant Flag" yang bertajuk "One Incredible Blue" yang digadang-gadang bakal memecahkan rekor dunia mengalahkan bendera raksasa milik suporter Barcelona. Dari tahun ke tahun, Aremania memang selalu memaknai hari jadi Singo Edan, mulai dari pemasangan bendera di tiap sudut kota, hingga konvoi berkeliling kota Malang. Sejak terjerat kasus dualisme beberapa tahun silam, pihak manajemen pun juga turut "membakar" semangat Aremania dengan jargon-jargon khusus seperti Only God Can Stop Us, Rise to Fight, The Power is Ours dan tahun ini menjadi Keep The Unity.
Selamat Ulang Tahun ke 27 Arema & Aremania
Keep The Unity
Only God Can Stop Us
Salam Satu Jiwa







Senin, 04 Agustus 2014

Musim Belanja

Musim panas selalu mencuri perhatian sebagai musim belanja, terjadi transaksi miliaran Euro, sambutan meriah, bahkan hingga teriakan kemarahan. Bulan Juli-Agustus adalah bulan yang krusial bagi sebuah tim untuk membangun kekuatan "kapal"nya dengan mencari amunisi-amunisi terbaik. Ada yang hanya mencari "anak buah kapal", bahkan juga ada yang mengganti nahkoda nya.
Beberapa pemain telah memiliki kesepakatan untuk bergabung dengan klub lain sebelum masa transaksi dibuka, namun ratusan pemain juga "menjual diri" selama gelaran Piala Dunia. Beberapa pemain cukup beruntung karena telah memiliki kualitas yang diakui walau tidak tampil di Piala Dunia, seperti Robert Lewandowski dan Ivan Rakitic yang telah memiliki klub baru tanpa harus "menjual diri" di Brazil. Beberapa pemain juga sukses membuktikan diri layak bermain  di level yang lebih tinggi setelah tampil gemilang bersama negaranya, sebut saja Guillermo Ochoa yang sebelumnya kontraknya tidak diperpanjang oleh klub papan b
awah Liga Prancis Ajaccio yang terdegradasi, mendapat kontrak dari klub papan tengah Spanyol Malaga. Begitu pula Keylor Navas, yang sebelum Piala Dunia bermain untuk Levante, kini resmi berseragam Real Madrid. James Rodriguez yang sebelumnya tidak terlalu dikenal dunia, kini menjadi pemain termahal ke 5 di dunia setelah resmi menanggalkan Jersey AS Monaco dan berganti menjadi Jersey Real Madrid. Bintang muda Belgia Divock Origi yang sempat menjadi bahan pembicaraan pun juga mendapat berkah setelah dikontrak Liverpool untuk menambal lubang yang ditinggalkan Suarez yang pergi dari Anfield menuju Camp Nou.
Bursa transfer kali ini bisa dibilang cukup menggeliat, tidak hanya untuk pemain-pemain muda, tapi juga untuk pemain-pemain gaek. Frank Lampard yang telah 11 musim berseragam Chelsea, memutuskan untuk melanjutkan kariernya di MLS bersama New York City FC, dan akan menjadi rekan David Villa yang sebelumnya juga memilih untuk menetap di Amerika. Namun karena Liga sepakbola Amerika baru dimulai bulan Maret, pihak klub memutuskan untuk meminjamkan mereka pada klub yang liga nya dimulai bulan Agustus. Lampard akan kembali ke Inggris memperkuat Manchester City selama 6 bulan, sedang Villa akan berpetualang ke negeri Kangguru untuk memperkuat Melbourne City, dimana ketiga klub tersebut dimiliki oleh orang yang sama. Kejadian unik ini membuat Wenger angkat bicara, dimana pelatih Arsenal ini menyebutkan bahwa trik transfer tersebut adalah akal-akalan untuk menghindari FIFA Financial Fairplay.
Selain pemain-pemain yang mewujudkan mimpi bermain di klub favorit, ada pula pemain-pemain bintang yang memutuskan untuk memulai petualangan baru, seperti Di Maria yang akan segera berseragam PSG, serta Marouane Felaini yang berusaha menyelamatkan kariernya dengan bermain untuk Napoli dengan status pemain pinjaman dari Manchester United.
Selain transaksi jual-beli dan pinjam meminjam, ada pula beberapa pemain yang kembali dari masa pinjaman.Thibaut Courtois untuk pertama kalinya akan berseragam Chelsea setelah dibeli klub London itu dari Racing Genk pada tahun 2011. Sejak pertama kali dibeli, kiper berkebangsaan Belgia itu langsung menjalani masa sebagai pemain pinjaman ke Atletico Madrid. 3 musim membela Atletico Madrid, Courtois yang menjadi pilihan utama itu terus menunjukkan kematangannya, hingga pada musim terakhirnya membawa Atletico naik menjadi kampiun La Liga Spanyol meruntuhkan Dominasi Barcelona dan Real Madrid. Courtois yang sempat dikabarkan enggan balik ke Chelsea jika hanya menjadi pelapis Petr Cech, akhirnya mendapat jaminan penuh dan akan menjalani musim debutnya untuk Chelsea di tahun ke 4 nya menjadi pemain Chelsea. Selain Courtois, Deulofeu juga menjadi pemain yang balik dari masa pinjamannya. Deulofeu kembali ke Barcelona setelah menjalani masa bakti semusim di Everton sebagai pemain pinjaman, begitu pula dengan Rafinha yang kembali memperkuat Blaugrana setelah bermain untuk Celta Vigo musim lalu.
Selain pemain-pemain bintang, Manchester United dan Barcelona adalah klub yang telah resmi mengganti pelatih. Semenjak ditinggal Guardiola yang tidak memperpanjang kontrak, Barcelona masih belum menemukan sosok pengganti yang pas. Setelah ditinggal Alm. Tito Vilanova yang mengundurkan diri di akhir musim 2012-2013, Barcelona mengontrak Gerardo Martino, namun kegagalan di musim 2013-2014 memaksa Tata meletakkan jabatannya sebagai pelatih Barcelona, dan kini Barcelona "memanggil" pulang Luis Enrique yang sempat berkelana di AS Roma dan Celta Vigo untuk menjadi juru taktik di Camp Nou. Berbanding lurus dengan Barcelona, Manchester United juga belum menemukan sosok pengganti Ferguson yang pensiun 2 musim lalu. Ferguson yang menunjuk David Moyes sebagai suksesor, tidak serta merta membuat kubu Setan Merah mampu bertahan dengan performa buruk Wayne Rooney, dkk. Moyes bahkan diberhentikan sebelum liga selesai, dan Ryan Giggs sempat ditunjuk sebagai pelatih sementara sambil menunggu Louis Van Gaal menyelesaikan pengabdiannya di timnas Belanda.
Menarik untuk kita nantikan bagaimana hasil rekrutan baru klub-klub papan atas liga-liga Eropa, dengan banyaknya dana yang digelontorkan, mampukah pemain-pemain maupun pelatih anyar memberikan hasil maksimal?




Jumat, 25 Juli 2014

Rival "Edisi La Liga"


Rivalitas dalam sepakbola adalah merupakan bumbu yang membuat pertandingan semakin dinantikan. Hampir setiap liga memiliki tingkat rivalitas yang tinggi. Pertandingan tersebut biasanya akan berjalan dengan tensi yang tinggi, keras, dan bahkan kadang cenderung kasar. Pertandingan itu sendiri sudah memiliki tensi tinggi, dapat terlihat saat konferensi pers sebelum pertandingan, yang biasanya akan dipenuhi sindiran-sindiran untuk tim lawan, dan semakin panas karena persaingan kedua kelompok suporter.
Liga Spanyol memiliki sebuah pertandingan besar yang menjadi daya tarik seluruh dunia yang biasa disebut El Clasico. Pertandingan ini merupakan rivalitas antar kota yaitu Real Madrid yang mewakili Kota Madrid (Ibukota Spanyol), dan Barcelona yang mewakili Provinsi Catalan. Pertandingan perdana El Clasico dimainkan pada tanggal 13 Mei 1902 yang digelar di Kota Madrid, namun dimenangkan Barcelona dengan skor 3-1. Rivalitas Real Madrid dan Barcelona semakin panas di era Jendral Franco. Jendral Franco adalah seorang pemimpin diktator di Spanyol yang juga terkenal sebagai Madridista. Apa hubungan antara Jendral Franco dan rivalitas Real Madrid dan Barcelona? Barcelona adalah klub yang berasal dari Catalonia, provinsi yang terkenal akan memberontak untuk mendapat kemerdekaan. Jendral Franco yang berkuasa ingin menghancurkan Catalan secara keseluruhan, mulai tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Catalan dan melarang pengibaran bendera Catalan. Bahkan beberapa pihak mengatakan kemenangan 11-1 Real Madrid atas Barcelona di leg ke 2 Copa del Rey tahun 1943 adalah hasil intervensi Franco yang tidak ingin Real Madrid terseingkir, karena pada leg 1 kalah 3-0. 
Dalam sepakbola, transfer pemain adalah hal yang biasa, bahkan kepindahan pemain dari Real Madrid ke Barcelona maupun sebaliknya adalah hal yang tidak aneh. Total ada 21pemain yang meloncat dari Barcelona ke Madrid dengan 17 pemain yang transfer langsung dari Barca ke Madrid, dan 4 pemain melewati klub lain terlebih dahulu, sedang pemain yang menyebrang dari kubu Real Madrid ke Barcelona dengan total 12 pemain, dimana 3 pemain adalah transfer langsung dan 9 pemain lainnya lewat jembatan klub lain terlebih dahulu. Menurut penulis, ada 2 nama yang sangat menyita perhatian dalam transfer pemain antar klub rival ini, yaitu adalah Michael Laudrup (1994) dan Luis Figo (2000). Michael Laudrup membuat fenomena unik yaitu membawa Barcelona mengalahkan Real Madrid dengan skor 5-0 pada tahun 1994, dan setahun kemudian Laudrup membawa Real Madrid mengalahkan Barcelona dengan skor yang sama. Sedang Luis Figo meninggalkan luka yang begitu dalam di hati para Cules (sebutan suporter Barcelona). Hal yang paling membekas adalah ketika Figo hendak mengambil tendangan sudut di Camp Nou, Figo mendapat lemparan kepala babi dan sebutan Judas yang melambangkan seorang pengkhianat. 
Selain pertandingan El Clasico, juga ada derby Catalan yang mempertemukan Barcelona dan Espanyol, memang tidak ada tradisi panjang antar kedua klub, karena perbedaan kekuatan yang cukup timpang. Barcelona memiliki kelas dunia, sedang Espanyol masih berusaha menembus Eropa. Partai ini juga tidak memperebutkan apapun, karena jelas Barcelona lebih unggul diatas kertas, tapi bagi Espanyol jika mereka mampu mengalahkan Barcelona, maka mereka bisa menjadi raja sehari di daerah Catalan. Namun setiap partai derbi Catalan ini tetap menjanjikan suatu tontonan yang menarik di setiap laga nya. 
Derbi yang juga menampilkan tensi tinggi adalah derbi ibukota atau derbi Madrid. Siapapun pasti sudah mengenal Real Madrid, namun partai ini dipanaskan oleh sang tetangga, Atletico, yang musim lalu mencuri perhatian dengan mematahkan tradisi juara duo raksasa La Liga. Skuat Atletico memang tidak mentereng seperti Real, namunh Atletico menemukan bentuk permainan tim yang dibawa oleh Simeone, hingga mereka mampu finis teratas di klasemen liga musim lalu. Derbi Madrid bisa dibilang laga prestisius dibawah El Clasico di La Liga.