Entri Populer

Rabu, 24 September 2014

Kapal yang Mulai Karam

Klub sepakbola biasa diibaratkan seperti kapal, dimana dimiliki oleh investor, memiliki nahkoda (pelatih), awak kapal (pemain), dan penumpang (suporter/fans). Semakin besar kapal akan semakin memiliki daya tampung yang besar. Sebesar apapun sebuah kapal tentu tidak menjamin tidak bisa karam. Begitupula klub sepakbola, meskipun di satu waktu menjadi besar, namun juga tidak menutup kemungkinan untuk tenggelam. Sedikit kita akan kembali ke masa akhir 90an atau awal 2000an. Masih segar diingatan kita bagaimana digdayanya Liga Italia dengan "Magnificent Seven" yang diisi oleh Juventus, AC Milan, Internazionale Milano, AS Roma, Lazio, Parma AC, dan Fiorentina. Lalu La Liga Spanyol yang selain memiliki rivalitas Barcelona dan Real Madrid, juga memiliki Valencia dan Deportivo La Coruna yang sempat mengejutkan kancah sepakbola Eropa. 
Namun seiring berjalannya waktu, beberapa klub yang sempat menjadi poros kekuatan di liga masing-masing harus merelakan masa emasnya. Beberapa klub yang harus rela tenggelam adalah

1. Parma AC
Berdiri pada 1913, tidak memiliki sejarah besar untuk dikenang, namun pada 1990an Parma yang dimiliki oleh keluarga Tanzi ini mampu mencuri perhatian dengan memunculkan bintang-bintang muda, dan bahkan sempat menjadi juara Piala UEFA, Piala Super Eropa, Coppa Italia, Piala Super Italia, Piala Winner, serta menjadi Runner Up Liga Italia. Cukup banyak pemain-pemain bintang yang diorbitkan oleh Gialloblu. Gianluigi Buffon yang hingga kini masih aktif bermain untuk Juventus dan Timnas Italia adalah pemain didikan akademi Parma. Selain Buffon, bintang-bintang yang pernah memperkuat Parma adalah Gianfranco Zola, Hernan Crespo, Lilian Thuram, Fabio Cannavaro, Diego Fuser, Matias Almeyda, Enrico Chiesa, Sebastien Frey, Adriano. Pada akhir 90an, skuat Parma yang cukup mentereng mampu menjadikan Parma salah satu kandidat juara Liga menyaingi Juventus, Milan dan Inter. Memasuki tahun 2000an, klub yang bermarkas di Stadion Ennio Tardini ini harus merelakan beberapa bintangnya untuk pergi dari klub. Beruntung manajemen cukup sigap untuk mendatangkan pemain-pemain baru yang masih mampu mempertahankan kualitas Parma. Pada tahun 2004, Parma mulai terguncang setelah kehancuran dinasti usaha keluarga Tanzi. Walau telah diselamatkan oleh Ghirardi, masa kejayaan Parma tidak kembali, hingga pada 2007/08 Parma bahkan harus "pulang" ke Serie B setelah 18 tahun malang melintang di Serie A. Musim berikutnya Parma sukses kembali ke Serie A, namun tidak mampu mengulang apa yang terjadi di tahun 90an. Bahkan pada musim 2010/11 mereka nyaris kembali ke Serie B. Beruntung kejeniusan Franco Colomba mampu menyelamatkan klub biru-kuning tersebut. Kini di tangan Donadoni, Parma mencoba kembali menempuh jalur juara, dan di musim 2013/14 yang juga menjadi ulang tahun Parma ke 100 mereka berhasil bertengger di peringkat ke 6 Serie A

2. Deportivo La Coruna
Berdiri tahun 1906, Deportivo tidak memiliki sejarah mentereng sebagai klub raksasa. Prestasi yang naik turun membuat Deportivo jarang mendapat sorotan media. Pada tahun 2000 adalah masa terbaik Deportivo. Dilatih oleh Javier Irureta, Super Depor bermetamorfosis menjadi kekuatan baru La Liga dan Eropa. Naybet, Diego Tristan, Djalminha, Roy Makaay, dan Pauleta mampu membawa Super Depor finis diatas Barcelona dan Valencia di musim 1999-2000. Selama beberapa tahun Deportivo mampu menarik nama-nama beken seperti Valeron, Capdevila, Albert Luque, Aldo Duscher, dan Walter Pandiani untuk mempertahankan kualitas permainan mereka. Selama 5 musim berturut-turut, Deportivo mampu bertahan di papan atas La Liga dan berpartisipasi di Liga Champions, hingga puncaknya pada tahun 2004, merema mampu menembus semifinal untuk kali pertama dalam sejarah klub. Selepas tahun 2004, tidak adanya peremajaan tim, prestasi Super Depor kian meredup. Kembali ke habitatnya di papan tengah, dan bahkan pada 2011 harus karam dan tersingkir dari Primera Division La Liga. 

Beberapa klub mungkin juga pernah memasuki fase surut, namun klub-klub dengan manajemen handal lah yang mampu terus berprestasi, seperti yang dicontohkan oleh Juventus, sempat terlempar dari Serie A karena skandal pengaturan skor, Juve masih dapat mempertahankan bintang-bintangnya dan masih menjadi salah satu tim yang disegani di Eropa dan bahkan di Dunia.




Senin, 15 September 2014

Performa Maksimal

Untuk menjadi seorang bintang lapangan, pemain sepakbola dituntut untuk selalu menampilkan performa terbaiknya, baik di level klub maupun kala membela timnasnya. Dalam sekali penampilan kadang kadar kebintangan seorang pemain tidak dapat diukur, namun bukan berarti tidak memiliki nilai tambah. Ada pemain yang menjadikan penampilan terbaiknya dalam 1 pertandingan menjadi batu loncatan, ada pula yang hanya meraih popularitas sesaat saja.
Bintang yang dikenang tentu saja harus menampilkan permainan impresif yang konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama, atau mampu memperlihatkan perkembangan yang signifikan dari usia muda hingga usia matangnya.
Sebagai pecinta sepak bola kita tentu tidak asing dengan nama Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Kedua pemain ini memang menjadi sumber berita yang tak pernah habis, baik karena permainan maupun berita diluar lapangan. Walau memiliki popularitas yang hampir seimbang, Ronaldo dan Messi mencapai puncak popularitas dengan cara yang berbeda. Ronaldo yang merupakan talenta Portugal ditemukan dan dipoles oleh Sir Alex Ferguson yang kala itu terkesan dengan permainan Ronaldo muda ketika memperkuat Sporting Lisbon. Pemuda 17 tahun itu akhirnya diboyong ke Old Trafford oleh Fergie. Dipoles oleh seorang manajer bertangan dingin, CR7 terus menunjukkan performa terbaiknya bersama Setan Merah, hingga akhirnya menarik minat Real Madrid untuk menggunakan jasanya.
Cerita berbeda diukir oleh Messi. Pemain 27 tahun asal Argentina ini boleh dibilang mendapat keberuntungan dari penyakit hormonnya. Pemain kelahiran Rosario ini memang memiliki bakat yang istimewa, namun memiliki sedikit kelainan hormon pertumbuhan yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badannya terhambat. Carles Rexach yang kala itu menjabat sebagai pemandu bakat di klub Barcelona sedang mencari talenta muda di Argentina. Sejatinya Messi kecil hampir bergabung bersama River Plate, namun karena biaya pengobatannya yang mahal dan River Plate tidak sanggup membiayainya, maka pupuslah impian Messi kecil bergabung dengan salah satu klub legendaris Argentina itu, namun Carles Rexach yang sempat melihat permainan Messi langsung memutuskan untuk membawanya dan keluarganya bergabung dengan Barcelona dan membiayai semua pengobatannya. Dididik di salah satu klub dengan pembinaan pemain muda terbaik di dunia membuat bakat besar Messi muncul ke permukaan, dan kini Messi menjelma sebagai sosok pemain terbaik di dunia, bahkan telah menduplikat 2 gol brilian dari Maradona, serta meraih 4 gelar Ballon D'Or secara berturut-turut.
Tidak banyak memang pemain yang mampu mempertahankan kelas terbaiknya dalam waktu yang lama seperti Messi maupun Ronaldo. Ada pemain yang tampak memiliki bakat di usia muda, namun tidak dapat menunjukkan penampilan yang konsisten, tapi ada pula pemain yang baru muncul kala usianya mulai senja, Javier Chicharito sempat menjadi perbincangan kala Sir Alex membawanya ke panggung Old Trafford, namun Chicharito tidak mampu menunjukkan penampilan yang konsisten hingga gagal menembus skuat utama dari Setan Merah, namun 1 hal yang patut ia syukuri adalah ketika Real Madrid mau meminjamnya untuk menambah kekuatan di lini depan Los Blancos.
Karir Chicharito sedikit lebih baik ketimbang Romelu Lukaku, Sama-sama direkrut ketika usia muda, dan sempat tampil impresif, Chicharito masih ditampung oleh klub sekelas Real Madrid, Lukaku yang menjadi calon predator bagi negaranya tidak mampu meluluhkan hati Jose Mourinho, hingga harus tersingkir dari Stamford Bridge dan dipinjamkan ke West Brom dan Everton. Kendati tidak bersinar di Chelsea, Lukaku tampil cukup impresif selama masa pinjaman. Tak kunjung memperoleh servis terbaik, akhirnya Lukaku harus rela dilego ke Everton musim 2014/15.
Lain pemain, lain pula keberuntungannya. Jika Chicharito dan Lukaku merupakan pemain muda yang semakin meredup, Dario Hubner adalah pemain kebalikannya. Tidak banyak orang tau masa muda Hubner, pemain ini menunjukkan tajinya ketika berusia kepala 3. Dario Hubner yang masa mudanya dihabiskan di Serie B dan C tersebut melakukan debut Serie A di usia 30 tahun, bahkan sempat menjadi Top Skor Serie A di usia 34 dengan 26 gol nya ketika membela klub Piacenza.
Selain karena faktor keberuntungan dan konsistensi permainan, mungkin takdir juga menjadi salah satu faktor bagi seorang pemain sepakbola. Shinji Kagawa boleh jadi sedang merasakan hal itu. Dikenal publik karena kegemilangannya di Signal Iduna Park, talenta Kagawa menggoda Alex Ferguson untuk mengasuhnya di Inggris. Namun 2 tahun berkarier di Inggris membuat karier Kagawa meredup. Kejeniusannya seolah "tertinggal" di Jerman. Merasa tidak berkembang akhirnya Kagawa memilih kembali "pulang" ke Borussia Dortmund, seperti takdirnya tertulis disana, Kagawa kembali menunjukkan sihirnya yang hilang.
Setiap pemain tentu ingin membela negaranya di pentas Piala Dunia. Namun tidak semua pemain yang tampil impresif di klub mampu berbuat hal yang sama di level internasional. Lionel Messi yang ditahbiskan menjadi pemain terbaik dunia pun sempat masuk jajaran pemain yang tidak populer ketika membela timnas Argentina, hingga tudingan itu dibantah ketika Messi sukses membawa Argentina ke partai puncak Piala Dunia 2014. Berbeda dengan Messi, Diego Costa bahkan memilih untuk pidah warga negara demi bisa tampil di Piala Dunia. Costa yang sejatinya adalah berkewarganegaraan Brazil, memilih untuk menjadi pemain Nasional Spanyol di Piala Dunia 2014 lalu. Namun Costa di Atletico dan Costa di Spanyol adalah Diego Costa yang berbeda. Di Atletico, Diego Costa mampu membawa Atletico ke puncak juara liga, namun di timnas Costa seperti harimau yang tak bergigi. Kecewa dengan tampilan di Piala Dunia, Diego Costa seakan memang berjodoh dengan permainan di Liga Inggris, dalam 4 laga, Costa memberikan 4 kemenangan untuk Chelsea dengan sumbangan 7 gol.
Banyak faktor yang mampu menjadikan seorang pemain menjadi bintang. Tidak banyak yang mampu berkarier seperti Messi, tapi tidak sedikit pula pemain muda yang akhirnya "membunuh" kariernya sendiri ketika memutuskan untuk keluar dari klub yang membinanya demi mengejar posisi tim inti yang sejatinya belum siap untuk mereka hadapi. Polesan pelatih juga menjadi faktor yang sangat penting bagi perkembangan karier seorang pemain. Tidak sedikit pula pemain yang mengikuti pelatihnya berpindah klub, bukan demi posisi, namun karena sang pemain dan pelatih telah saling memahami.