Tahun 2013 menjadi tahun harapan bagi pecinta Timnas Indonesia. Tim senior yang carut marut terdampak kisruh PSSI membuat suporter timnas tidak bergairah mendukung Tim Garuda di stadion. Namun pada saat itu tiba-tiba muncul harapan bangsa melalui ABG-ABG yang bertanding di level U-19.

Menjadi tuan rumah di gelaran Piala AFF U-19, anak asuhan Indra Sjafri ini tergabung di grup B bersama Vietnam, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Brunei. Tergabung bersama negara-negara favorit juara, kiprah Garuda Jaya kurang diperhitungkan oleh suporter. Selain berada satu grup dengan lawan tangguh, suporter pun relatif tidak mengenal pemain-pemain muda ini. Menyudahi pertandingan perdana dengan skor telak 5-0 melawan Brunei belum cukup memberi bukti kekuatan tim muda ini. Kemenangan kedua melawan Myanmar pun belum cukup memberi bukti pada penonton, apalagi timnas muda ini menelan kekalahan ketika melawan Vietnam. Namun bagi beberapa suporter, permainan yang ditunjukkan Evan Dimas, dkk ini cukup ampuh untuk bisa menarik penikmat bola di Sidoarjo dan Gresik yang menjadi tuan rumah gelaran ini walau stadion tidak selalu penuh. Kemenangan telak 3-1 atas Thailand membuka mata pendukung Timnas, ditambah laga penutup grup Indonesia melawan Malaysia yang selalu bertensi tinggi di setiap pertemuannya. Mengakhiri putaran grup di peringkat ke 2, Garuda Jaya bertemu dengan tim kejutan Timor Leste di babak Semi Final. Mengalahkan Timor Leste 2-0, anak-anak muda ini kembali harus bertemu dengan Vietnam di partai puncak. Harapan pun melambung tinggi bersama kepak Garuda muda ini, para suporter yang sudah haus prestasi bersatu untuk memerahkan stadion Gelora Delta Sidoarjo yang menjadi venue final. Doa masyarakat Indonesia pun terwujud dengan kemenangan Tim muda ini dengan adu penalti 7-6 setelah bermain imbang tanpa gol selama 120 menit.
Dalam sekejap Evan Dimas, Ravi Murdianto, Ilhamudin, Maldini Pali menjadi buah bibir masyarakat, dan mengisi kolom-kolom berita tanah air, bahkan profil Evan Dimas juga sempat terpampang di situs resmi FC Barcelona. Popularitas U-19 pun melambung mengalahkan senior-seniornya. Masyarakat bahkan benar-benar membela U-19 agar tidak terkontaminasi dari jahatnya media, bahkan ada dukungan supaya para pemain tidak memainkan bagian dari iklan-iklan yang merubah fokus pemain.

Euforia masih berlanjut pada kualifikasi Piala Asia U-19, dimana turnamen ini membawa harapan Garuda Jaya tampil di putaran Final Piala Dunia U-20. Tergabung di grup G bersama Laos, Filipina, dan raksasa Asia Korea Selatan. Asa tim muda ini diawali dengan mulus dengan melumat Laos dengan skor telak 4-0, dilanjutkan mengandaskan perlawanan Filipina 2-0. Dengan permainan cepat dan lugas, Timnas muda ini diyakini mampu mengimbangi kecepatan Korea Selatan. Dengan dukungan 50.000 suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Dibawah guyuran hujan yang cukup deras, Evan Dimas mampu membuka keran gol Garuda di menit 30, namun 2 menit setelah gol sang kapten, Korea mendapat penalti yang mampu dieksekusi dengan baik oleh Seol Taesu. Sorak sorai suporter yang membahana di Stadion terbesar Indonesia ini mampu memacu semangat para pemain hingga kembali unggul 2-1 di menit 49 Evan Dimas kembali membawa Garuda Jaya unggul. pada menit 86 Evan Dimas melengkapi Hattrick nya dan membuat seisi GBK dan pecinta bola seIndonesia bersorak gembira melihat Timnas muda ini unggul selisih 2 gol atas Korea Selatan. Tidak lama setelah gol ke 3 Evan Dimas, Korea mampu mencuri 1 gol pada menit 88. Sisa 2 menit digunakan Korea untuk membombardir pertahanan Indonesia yang dikawal oleh Ravi Murdianto. Penonton benar-benar bersorak kemenangan kala wasit asal Malaysia yang memimpin pertandingan tersebut meniup peluit akhir pertandingan. Sekali lagi Garuda Jaya melambungkan nama Indonesia di kancah sepakbola yang benar-benar dirindukan masyarakat.

Berbagai persiapan dilakukan Indra Sjafri untuk mempersiapkan tim menghadapi Piala Asia. 2 jilid tur Nusantara dilakoni, Tur Timur Tengah, hingga Tur melawan klub-klub Spanyol antara lain Valencia, Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid. Walau menderita kekalahan dari Atletico Madrid, namun permainan Garuda Jaya layak diapresiasi karena "hanya" kalah 2-1. Bahkan mampu menahan imbang Valencia 1-1. Di pertandingan melawan Barcelona, Evan Dimas, dkk mendapat pengalaman berharga dengan bertanding melawan Luis Suarez, Thomas Vermaelen, Alen Halilovic, Sergi Samper, dan Pol Calvet. Dengan lawan tanding yang memiliki jam terbang tinggi, Garuda Jaya harus rela gawangnya dikoyak sebanyak 6x oleh tim asuhan Eusibio itu. Keanehan muncul pada jadwal tanding melawan Real Madrid C yang dilakukan pada hari berikutnya. Kekalahan 5-0 menjadi terlihat sangat wajar jika didasarkan pada jadwal pertandingannya.
Menuai hasil kurang positif di Spanyol, tidak menyurutkan optimisme menghadapi turnamen selanjutnya Piala Asia U-19 di Myanmar. Namun seakan menjadi antiklimaks, ketika Evan Dimas, dkk malah takluk 3-1 dari Uzbekiztan di pertandingan perdana, dan bahkan tersingkir setelah kalah 1-0 dari Australia.
Dari tim yang relatif tidak dikenal, hingga menjadi pujaan mungkin memberikan beban tersendiri bagi para pemain, usia yang masih sangat muda harus memikul beban berat dari harapan seluruh rakyat Indonesia. Bukan Indra Sjafri, bukan Evan Dimas atau pemain lain yang harus disalahkan. Kesalahan mendasar sejatinya ada pada PSSI yang kurang mampu membina pemain muda potensial. Jika berpikir logis, penduduk Indonesia jumlahnya mungkin hampir setara dengan penggabungan beberapa negara Eropa sekaligus, namun mengapa dari sekitar 200juta penduduk, begitu sulitnya menjaring pemain muda? Banyak pemain muda potensial di Indonesia, dengan bukti pemain-pemain muda kita pernah berprestasi di turnamen internasional Danone. Juga ada beberapa pemain yang mendapat penghargaan di Milan bahkan Manchester United. Evan Dimas pun pernah mendapat kesempatan berlatih bersama La Masia, dan masih banyak contoh lain lagi. Ditambah dengan ekspansi sekolah sepakbola klub-klub Eropa seperti Arsenal, Barcelona, dan Real Madrid yang membuka cabang di Indonesia. PSSI harus lebih jeli melihat potensi pemain muda kita. Selama ini PSSI terus berharap pemain muncul dengan instan, padahal pemain seperti Lionel Messi sudah diincar Barcelona sejak umur 9 tahun, dan di didik secara profesional di La Masia yang diberi pelajaran sekolah intensif, latihan rutin sepakbola serta pertandingan di akhir pekan. Lalu apa beda pola latihan Timnas U-19 dengan klub-klub muda luar negri? Seperti kita tahu, banyak tur dijalani Garuda Jaya untuk memperkuat tim, jumlah pertandingan yang banyak serta tidak meninggalkan sekolah. Perbedaan mendasar adalah pada pertandingan yang dihadapi. Klub-klub Eropa membiasakan pemain muda dengan pertandingan kompetisi atau turnamen yang memperebutkan gelar, jadi dari usia dini mereka telah dibiasakan pada pertandingan yang kompetitif dan ada tekanan untuk menang, sedang Garuda Jaya hanya memainkan pertandingan yang bersifat persahabatan yang lebih banyak pada unsur "menyapa" penggemar dengan berkeliling Indonesia. Mereka hanya merasakan kenyamanan pertandingan, bukan kompetisi atau turnamen yang mengasah mental bertanding, dan hasilnya dapat kita lihat, mental Garuda Jaya belum siap untuk berkiprah di level yang lebih tinggi. Secara teknik dan permainan tim memang mumpuni, tapi dari segi mental mereka masih harus ditempa lebih lagi. Jayalah Garuda. Berbenahlah PSSI. Ingat, Jepang yang dulu "belajar" sepakbola di Indonesia sudah merasakan berlaga di Piala Dunia sejak 1998, sedang kita yang menjadi "guru" masih berjalan di tempat.